Rabu, 17 Oktober 2012

SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA


Oleh : Septinus Tipagau

Bagian I : Kultur Peradaban Bangsa Indonesia

Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah “budaya” yang populer dalam kalangan akademis. Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai “seni, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat. Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan beragam kegiatan ekonomi dan budaya.(http://id.wikipedia.org/wiki/Peradaban)
Dalam buku Sistem Sosial Budaya Indonesia oelh Prof. Harry Yuswadi ini, Budaya peradaban diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan bersikap atau juga dapat diartikan sebagai penyikapan terhadap sesuatu secara beradab (civilized). Konsep peradaban yang ada di sini lebih menekankan pada the rise cognition, daripada yang disarankan oleh Elias (1939a) yang hanya bertumpu pada the triumph of rationality over religion, the decline of local, particular customs, and the rise of natural sciences. Tinjauan tentang budaya peradaban bangsa selalu didekatkan dengan sejarah budaya politik di dalam kerangka paradigm Sosiologi Pengetahuan.
Seperti yang konsep peradaban di atas, bahwa system budaya Indonesia terbentuk secara cultural yang berabad-abad lamanya. System budaya adalah abstraksi simbolis dari aksi social yang berlangsung terus menerus, sehingga fungsi-fungsi kognisi dan intelejensi dipengaruhi oleh kesadaran kolektif komunitas bersangkutan. Kebanyakan orang tidak akan mengalami atau merasakan kejanggalan manakala itu sudah menjadi sesuatu yang sudah terkonstruk dalam mind set mereka.
Banyak fenomen-fenomena social yang menjadi fakta social yang hadir di depan mata kita yang seolah-olah menjadi kebiasaan bangsa Indonesia. Salah satu contoh yang kerapkali terjadi adalah perilaku kampanye Pemilu dan unjuk rasa. Kumpulan masa dalam perilaku kampanye ini tidak termasuk konsep crowd, karena kampanye dan unjuk rasa memiliki sasaran yang jelas dan memiliki struktur organisasi yang juga jelas, setidak-tidaknya memilki ketua atau pemimpin kelompok yang diakui dan bertugas untuk mengkoordinasikan anggotanya dan mengontrol semua perilaku anggotanya agar tidak terjadi lost of control.
Dari fenomena-fenomena social yang ada, tidak dipungkiri bahwa peradaban bangsa Indonesia ini telah tercemari oleh peradaban bangsa Barat. Internalisasi budaya peradaban penjajah masuk melalui peraturan-peraturan yang dibuat oleh penjajah dahulu kala. Saya setuju dengan yang disampaikan oleh Prof. Harry yang menyatakan bahwa format budaya peradaban itu terbentuk akibat penjajahan Belanda Indonesia berbeda dengan Negara tetangga kita (Malaysia dan Singapura) yang notabenenya bekas jajhan Inggris. Malaysia dan Singapura boleh dikatakan jauh “lebih memilki” budaya peradaban dibandingkan dengan Indonesia yang “belum memiliki” budaya peradaban.
Kita sebagai mahasiswa yang memiliki peran ganda yaitu agent of change dan agent of control seharusnya melahirkan solusi-solusi yang bisa membawa Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar memilki budaya peradaban sehingga menjadi bangsa Indonesia yang beradab sesuai dengan cita-cita Negara yang termaktub dalam sila Pancasila kedua yang berbunyi, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sosiologis, kelompok muda adalah kelompok dengan tingkat mobilitas tinggi dan menjadi penggerak perubahan karena relatif minimnya kepentingan praktis yang dimiliki. Dengan melihat rumitnya problem kebangsaan yang kita hadapi saat ini, sebagai anak bangsa dan anak ummat pemuda  dihadapkan pada tanggung jawab sejarah mewujudkan masa depan yang lebih baik dengan salah satu syaratnya mampu mendamaikan dan menghentikan segala persoalan yang ada.

Bagian  II : Involusi Bangsa Indonesia

Sepert yang dijelaskan dalam buku SSBI Karya Prof Harry, bahwa konsep involusi ini meminjam istilah dan konsep dari Clifforrd Geertz (1976) ketika menjelaskan involusi pertanian di Pulau Jawa. Apa yang dijelaskan dalam konsep tersebut, saya menangkap bahwa konsep Involusi ini lebih gampangnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ruwet. Berangkat saya juga sependapat dengan apa yang dijelaskan oleh Prof. Harry, bahwa berangkat dari keruwetan tersebut, bangsa Indonesia ini mengalami involusi yang sangat kritis. Bangsa Indonesia seolah-olah berada dalam sebuah benang yang ruwet dan untuk keluar dari situ, bnagsa kita sednag mengalami kesulitan. Seolah-olah bangsa Indonesia ini tidak tahu arah jalan sehingga tersesat dalam sebuah budaya Peradaban.
Tidak hanya dalam masalah keruwetan peradaban, ternyata Indonesia juga mengalami keruwetan dalam masalah politik. Indonesia benar-benar berada dalam situasi yang mengalami kemadegan atau dalam istilah Clifford Geertz disebut sebagai “involusi politik”. Sorensen (1993) menggambarkan 4 indikator yang mendasari beroperasinya demokrasi beku yang sangat relevan untuk digunakan sebagai instrument dalam memahami perkembangan politik di Indonesia, indicator demokrasi tersebut meliputi: 1). Instabilitas ekonomi ditingkat nasional maupun tingkat local; 2). Mandegnya proses pembentukan masyarakat warga (civil society); 3). Konsolidasi social politik tidak pernah mencapai soliditas, cenderung bersifat semu; 4). Penyelesaian masalah-masalah social politik dan hukum tidak pernah tuntas. (http: //www.berpolitik.com)
Jika dilihat dari indikator yang ditawarkan oleh Sorensen di atas, dalam rangka mengukur perkembangan demokratisasi, tidak diragukan apabila dikatakan bahwa masyarakat indonesia sedang berada dalam suatu fase demokrasi beku. Hal ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa, konsolidasi sosial-politik juga masih berjalan tersendat-sendat, baik ditingkat elit naisonal maupun lokal  (eksekutif maupun  legislatif), juga pelaku politik yang mewakili masyarakat akar rumput. Nampak elite politik masih sekedar memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok, sedang masyarakat lapis bawah cenderung apatis terhadap sistem kepemimpinan sehingga mereka tidak jarang berbuat diluar koridor hukum.
Hal inilah yang menjadi problem yang dihadapi bangsa Indonesia yang saya kira semakin kritis dan semakin berinvolusi semakin dalam. Demonstrasi, protes, dan gerakan-gerakan sosial dari skala paling persuasif hingga kekerasan diluar batas kewajaran dan pelanggaran hukum merupakan warna kehidupan masyarakat saat ini. Sangat disayangkan kecenderungan menguatnya masyarakat tidak dibarengi dengan ketertiban sosial atau keberadaban masyarakat (civility), masyarakat telah keliru memaknai demokrasi. Pada hal demokrasi bukan tujuan suatu bangsa tetapi sekedar menjadi instrumen untuk mencapai kesejateraan dan keadilan sosial.
Saat ini bangsa indonesia tengah berada dalam era transisi demokrasasi, suatu era dimana negara menjadi rentan terhadap kekacauan sosial. Huntington menyatakan bahwa, jika partisipasi masyarakat tiba-tiba meledak sementara tidak diimbangi dengan kesiapan intitusi-institusi negara, maka yang terjadi adalah instabilitas politik (Budiman, 2001) persis sepertri  yang terjadi di Indonesai saat ini.
Bangsa Indonesia ke depan harus bisa menghindarkan terjadinya involusi yang semakin ruwet dan kritis tersebut. Menjadi bangsa Indonesia yang tangguh dan dinamis untuk bisa keluar dari lingkaran keruwetan. Usaha-usaha bangsa Indonesia ini harus disertai dengan pembentukan masyarakat warga yang dibarengi ketertiban social dan keberadaban masyarakat.
Evolusi saat ini memang sangat dibutuhkan dan dilaksanakan oleh bangsa Indonesia agar mampu keluar dari involusi atau keruwetan ini. Dengan besarnya komplekstisitas persoalan kebangsaan yang sedang dihadapi bangsa dan tanah air kita ini, maka tidak ada jalan lain untuk mengurai kusut persoalan ini kecuali berupaya merangkul semua kelompok, tokoh dan elemen bangsa untuk mewujudnya konsolidasi nasional, baru kemudian berpikir tentang kesejateraan dan mewujudkan sebuah evolusi peradaban agar kelak Indonesia ini benar-benar menjadi bangsa yang beradab.

Bagian III  : Budaya Kemiskinan Dan Kemiskinan Budaya

Fenomena kemiskinan yang terjadi di sekitar kita barangkali membuka pikiran kita dan memunculkan pertanyaan “apa sih yang menjadi factor miskin?”. Sebelum membahas permasalahan tersebut, saya ingin menjelalaskan konsep kemiskinan. Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan social (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksidengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan minum,berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan lain sebagainya).
Dalam buku Sistem Sosial Budaya Indonesia yang ditulis oleh Prof. Harry, kemiskinan seolah-olah menjadi bagian dari proses kehidupan orang-orang yang miskin. Jadi miskin disebabkan karena memang miskin. Selanjutnya kemiskinan itu sebenarnya memiliki suatu dinamika yang dapat menciptakan sub kultur sendiri, yang biasanya muncul dalam suatu masyarakat yang system social ekonominya secara keseluruhan terlibat dalam proses transformasi menuju system kapitalistis.
Saya setuju dengan pendapat di atas, tetapi disini juga menambahkan menurut saya bahwasannya kemiskinan bisa terjadi karena adanya ketidakadilan di masyarakat yang dapat mengganggu rasa kebersamaan, atau karena perlakuan yang tidak adil dalam perlakuan/pemerataan sehingga ada masyarakat yang merasa miskin dalam berbagai hal yang berakibat pada pertentangan dan perpecahan. Pola kekuasaan yang ada memungkinkan sebagian kecil atau sekelompok individu merasa dapat perlakuan yang tidak adil dan kesempatan yang sama memperoleh asset dan akses untuk berkembang, berpotensi pada terbentuknya kelompok minoritas yang merasa miskin karena proses pemiskinan yang berlangsung.
Kelompok seperti ini akan menjadi akar di masyarakat yang berperilaku menyimpang sehingga terjadilah penentangan dan konflik dengan dampak yang lebih luas, yaitu disintegrasi masyarakat. Sebaliknya gejala terjadinya disintegrasi di masyarakat dengan memudarnya kebersamaan dan rasa persatuan diantara sesama warga masyarakat memberi ciri pada melemahnya pola interaksi sosial, menghilangnya rasa kebersamaan diantara sesama warga hilangnya rasa kohesi sosial dan berdampak pada tindak ketidakadilan dan berlangsungnya proses pemiskinan dikalangan warga masyarakat.
Pembicaraan tentang teori kemiskinan khususnya tentang kebudayaan kemiskinan, sampai kini masih dapat digunakan pemikiran teori dari Oscar Lewis. Teori-teori lain yang berkembang dan dikembangkan oleh para ahlinya, lebih banyak menyatakan bahwa kemiskinan adalah dampak dari masalah kependudukan khususnya migrasi desa-kota yang tidak terkendali. Kemiskinan dan kebudayaan kemiskinan terbentuk dari suatu situasi, yang mengelompokkan masyarakat dalam dua kategori, yaitu miskin dan tidak miskin. Selain itu, kebudayaan kemiskinan membuat sebuah kategorisasi dengan ciri-ciri khusus, dan
juga dampak yang ditimbulkannya pada kelompok miskin tersebut.
Kebudayaan kemiskinan merupakan adaptasi dan penyesuaian oleh sekelompok orang pada kondisi marginal mereka, tetapi bukan untuk eksistensinya karena sejumlah sifat dan sikap mereka lebih banyak terbatas pada orientasi kekinian dominannya sikap rendah diri, apatis, dan sempitnya pada perancanaan masa depan. Sehingga yang mempunyai kemungkinan besar untuk memiliki kebudayaan kemiskinan adalah kelompok masyarakat yang berstratarendah, mengalami perubahan social yang drastis yang ditunjukkan oleh ciri-ciri :
1.        Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-lembaga utama masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigan tinggi, apatis dan perpecahan;
2.        Pada tingkat komunitas local secara fisik ditemui rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol, dan rendahnya tingkat organisasi diluar keluarga inti dan keluarga luas;
3.        Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya keluarga matrilineal dan dominannya peran sanak keluarga ibu pada anak-anaaknya;
4.        Pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri;
5.         Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan, lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya orientasi masa kini, dan kekurang sabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana masa depan, perasaan pasrah/tidak berguna, tingginya anggapan terhadap keunggulan lelaki, dan berbagai jenis penyakit kejiwaan lainnya;
Kebudayaan kemiskinan juga membentuk orientasi yang sempit dari kelompoknya, mereka hanya mengetahui kesulitan-kesulitan, kondisi setempat, lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja, tidak adanya kesadaran kelas walau mereka sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status. (dikutip dari Jurnal Budaya Kemiskinan di Masyarakat Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat, Ketut Sudhana Astika, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010)